Oleh : Indra Efendi Rangkuti.
Pada tahun 1967 Brigjend TNI Sarwo Edhie Wobowo ditugaskan sebagai Pangdam II/Bukit Barisan.Selain dalam rangka pembersihan faham komunis, Sarwo Edhie Wibowo juga ditugaskan mengatasi masalah – masalah hukum masyarakat di Medan kala itu.
Salah satu masalah terbesar di Medan adalah korupsi dan penyelundupan di pelabuhan. Sudah jadi rahasia umum banyak pelanggaran hukum di pelabuhan Belawan kala itu. Namun dengan tegas Sarwo membereskannya. Jika ada yang melanggar, akan dikenai hukuman sesuai peraturan. Sarwo tak pernah mau berkompromi dengan korupsi dan penyelundupan.
Ketika tiba di Medan, Sarwo Edhie Wibowo menolak tinggal di rumah dinas Panglima yang disiapkan untuknya karena dinilainya terlalu mewah. Dirinya lebih memilih tinggal di bangunan tua peninggalan Belanda yang menjadi wisma untuk tamu Kodam Bukit Barisan saat itu.
Banyak yang tidak menyukai tindakan Sarwo. Mereka mencoba membujuk Sarwo dengan kata-kata manis supaya mau kompromi. Namun Sarwo tetap pada pendiriannya. Korupsi dan penyelundupan di pelabuhan harus dibasmi.
Setelah pendekatan persuasif gagal, mereka mencoba meneror Sarwo. Ancaman datang silih berganti.
Tapi Sarwo bukan prajurit sembarangan. Dia mantan komandan pasukan elite RPKAD (kini Kopassus) yang menjadi garda terdepan dalam penumpasan G 30-S/PKI pada tahun 1965. Sejak zaman Jepang Sarwo sudah angkat senjata. Diancam tikus-tikus koruptor dia menanggapinya dengan santai saja.
“Yang bengkok ya harus diluruskan, soal mendulang risiko, itu harus dihadapi,” tegas Sarwo.
Salah satu hal yang gencar dilakukan oleh Sarwo adalah memberantas penyelundupan dan korupsi di pelabuhan Belawan. Tak jarang Sarwo menyamar sebagai buruh pelabuhan atau sebagai tukang becak untuk melihat langsung bagaimana praktik penyelundupan itu terjadi dan siapa saja yang jadi beking. Perlahan, banyak yang mengapresiasi tindakan Sarwo. Satu per satu dukungan dari berbagai unsur mulai terlihat.
Situasi perdagangan di pelabuhan pun makin kondusif. Demikian juga upaya Sarwo yang cukup sukses memberantas premanisme di Medan waktu itu.
Kisah ini diceritakan dalam buku Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajurit yang ditulis Alberthiene Endah dan diterbitkan Red & White Publishing tahun 2010. Almarhumah Ani Yudhoyono -istri mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah putri Sarwo Edhie Wibowo.
Sebagai Panglima Kodam, hadiah dari berbagai kalangan terus berdatangan. Tak cuma pada Sarwo, Sunarti, istrinya pun selalu dibanjiri hadiah. Namun keduanya dengan tegas menolak hadiah – hadiah tersebut.
Fasilitas, barang mewah tak pernah mereka terima. Sunarti sebagai istri sangat mendukung sikap tanpa kompromi suaminya terhadap praktek suap,korupsi dan kolusi. Soal ini Jenderal Hoegeng yang jujur pun mengakui integritas Sarwo Edhie.
“Jabatan papi adalah tanggung jawab. Dia dipercaya menjadi panutan masyarakat. Setiap perilaku hidup kita harus jadi teladan untuk orang lain,” pesan Sunarti soal jabatan Panglima yang diemban suaminya.
Selain dalam penegakan hukum Sarwo juga dekat dengan dunia olahraga khususnya sepakbola. Bersama Gubsu Marah Halim Harahap dan Walikota Sjoerkani Sarwo rajin memberi dukungan moral dan motivasi kepada para pemain PSMS Medan.Bersama Marah Halim Harahap Sarwo Edhie Wibowo kerap memberi motivasi kepada seluruh pemain PSMS Medan.
Ucapan Sarwo yang sering terdengar adalah “Warga Medan Cinta Sepakbola.Balaslah Cinta Mereka dengan Prestasi dan Gelar Juara”.
Ucapan inilah yang menjadi salah satu pendorong pemain PSMS tampil gegap gempita hingga akhirnya sukses menjadi Juara Kejurnas PSSI untuk pertama kali pada 1967 disusul kemudian sukses menjadi Juara Aga Khan Gold Cup 1967 di Bangladesh setelah di Final mengalahkan Mohammaden 2-0.

Bahkan Sarwo Edhie Wibowo yang menyambut langsung kepulangan rombongan PSMS di Bandara Polonia ketika menjadi Juara Kejurnas PSSI 1967 dan Aga Khan Gold Cup 1967.
Pada Juni 1968 Sarwo mengakhiri tugasnya di Medan dan menjadi Pangdam Cenderawasih di Irian Barat.Dan seperti ucapannya ketika pertama datang ke Medan “Datang dengan satu koper maka pulangpun satu koper”. Itulah integritas Sarwo Edhie Wibowo yang tak bisa ditawar **








