Reses di Medan Utara: “Ritual Politik Tanpa Solusi”

Politik565 Dilihat

OPINI Oleh Retno Purwaningtias, S.IP

(Pegiat Literasi)

Langit masih gelap ketika para nelayan bersiap melaut. Bukan hanya gelombang tinggi yang mereka khawatirkan, tetapi juga harga solar yang kian mencekik, alat tangkap yang makin mahal, dan hasil tangkapan yang tak lagi sepadan dengan jerih payah.

Sementara itu, di sudut-sudut kampung, sekelompok pemuda berkumpul di persimpangan nasib yang tak menentu. Sebagian terseret arus pergaulan yang merusak, ada yang larut dalam kerasnya tawuran antar-kelompok, sementara yang lain larut dalam candu opium modern, terperangkap dalam pusaran tanpa ujung yang kian menjerat dan sulit dilepaskan. Hari-hari berlalu tanpa kepastian, seolah hidup hanya sebatas menghabiskan waktu tanpa arah yang jelas.

Di tengah kondisi ini, Wakil Ketua DPRD Kota Medan, Hadi Suhendra, mengadakan Reses II Masa Sidang II Tahun Sidang 2024-2025 pada Minggu, 23 Februari 2025. Seperti yang sudah-sudah, momen ini menjadi ajang bagi warga untuk menyampaikan keluhan yang sebenarnya tak asing lagi: jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, pendidikan yang sulit diakses, pengangguran yang terus meningkat, dan layanan kesehatan yang lamban (medanposonline.com, 23/2/2024)

Hadi Suhendra berjanji akan memperjuangkan aspirasi mereka. Ia bahkan mengklaim telah berdiskusi dengan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan untuk mencari solusi. Namun, warga sudah terlalu sering mendengar janji seperti ini. Mereka tahu, usai reses, politisi akan kembali ke rutinitasnya, sementara mereka tetap terjebak dalam masalah yang sama.

Inilah ironi yang terus berulang. Demokrasi melahirkan budaya reses yang tampak seperti bentuk kepedulian pemimpin terhadap rakyat. Setiap tahun, agenda ini digelar, tetapi hasilnya tak pernah benar-benar menyelesaikan persoalan. Reses hanya menjadi panggung bagi politisi untuk mendengarkan keluhan dan memberikan janji tanpa perubahan nyata.

Realitas ini begitu kentara di Medan Utara. Wilayah pesisir yang terlupakan ini mencerminkan kegagalan sistem dalam mengurus rakyatnya. Infrastruktur yang rusak, pelayanan publik yang buruk, dan kesejahteraan yang timpang bukan sekadar akibat kurangnya anggaran atau kelalaian individu, tetapi juga cerminan dari sistem demokrasi yang sejak awal tidak benar-benar dirancang untuk menyejahterakan rakyat.

Ambil contoh banjir rob yang terjadi hampir setiap bulan di Belawan. Air laut yang pasang selalu masuk ke pemukiman warga, merendam rumah, merusak barang, dan meningkatkan risiko penyakit. Selain merusak rumah dan barang, banjir rob juga menghantam perekonomian warga. Banyak nelayan yang tidak bisa melaut karena alat dan perahu mereka rusak akibat genangan air.

Ketika hujan turun, kondisi semakin buruk karena sistem drainase yang buruk justru memperparah genangan. Masalah ini bukan hanya fenomena alam semata, tetapi juga akibat buruknya perencanaan tata kota dan ketidaksiapan pemerintah dalam membangun infrastruktur yang mampu mengatasi dampaknya. Sistem drainase yang seharusnya mampu mengalirkan air justru sering tersumbat akibat buruknya perawatan dan lemahnya kebijakan antisipatif pemerintah.

Namun, alih-alih memberikan solusi yang konkret, kebijakan yang diterapkan justru lebih banyak berorientasi pada proyek jangka pendek yang tidak menyentuh akar masalah. Salah satu contohnya adalah pembangunan tanggul penahan banjir rob sepanjang 1,1 km dengan ketinggian 20 cm di atas permukaan banjir maksimal di Belawan. Proyek ini mendapat penolakan dari sebagian warga karena dibangun di depan rumah mereka serta menggunakan badan jalan. Sementara itu, beberapa rumah terdampak berada di lahan milik PT Pelindo, sehingga pemerintah kota tidak dapat melakukan pembangunan di area tersebut (portal.medan.go.id, 4/7/2022).

Tidak hanya itu, proyek reklamasi yang dilakukan tanpa kajian lingkungan yang memadai justru memperburuk kondisi. Alih-alih mengatasi banjir rob, reklamasi ini malah memperluas genangan air laut, merugikan masyarakat, dan memperparah dampak lingkungan (sumutpos.jawapos.com, 23/4/2019).

Fakta ini mencerminkan bagaimana kebijakan yang ada lebih berpihak pada kepentingan pemodal daripada kesejahteraan rakyat. Selama sistem yang diterapkan tetap sistem demokrasi, rakyat hanya menjadi objek yang suaranya didengar saat dibutuhkan tetapi diabaikan ketika kepentingan politik dan ekonomi lebih dominan. Demokrasi hari ini hanya menghasilkan kebijakan yang menguntungkan elite penguasa, sementara rakyat terus menjadi korban janji-janji yang tak pernah ditepati.

Berbeda dengan sistem Islam, di mana pemimpin memiliki tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya. Negara wajib memastikan bahwa setiap individu mendapatkan haknya dalam pendidikan, kesehatan, dan ekonomi tanpa harus bergantung pada kebijakan pragmatis atau proyek kapitalistik. Rasulullah Saw. bersabda:

“Imam (pemimpin) adalah pengurus, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (h.r. Bukhari dan Muslim)

Sejarah mencatat bagaimana Islam membangun infrastruktur untuk kepentingan rakyat. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pembangunan kanal dan sistem irigasi berkembang pesat untuk memastikan lahan pertanian tetap subur dan hasil panen melimpah. Salah satu proyek besarnya adalah pembangunan kanal di Mesir yang menghubungkan Sungai Nil ke Laut Merah. Proyek ini tidak hanya meningkatkan ekonomi rakyat, tetapi juga memastikan distribusi air yang lebih baik.

Di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, sistem jalan dan jembatan dibangun dengan kokoh agar transportasi lancar dan perdagangan berkembang. Selain itu, pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah, sistem drainase kota-kota besar seperti Baghdad dibangun dengan perencanaan yang matang, sehingga banjir bisa dikendalikan dan sanitasi kota tetap terjaga.

Dalam sistem Islam, solusi terhadap permasalahan rakyat bukan sekadar janji politik, melainkan kewajiban yang harus ditunaikan. Problem banjir rob misalnya, tidak akan dibiarkan berlarut-larut karena negara bertanggung jawab penuh dalam membangun infrastruktur yang layak dan memastikan wilayah-wilayah pemukiman terbebas dari ancaman bencana yang dapat dicegah.

Namun, selama kebijakan masih berlandaskan pada sistem demokrasi yang mengabaikan tanggung jawab negara terhadap rakyat, maka penderitaan mereka akan terus berulang. Reses seperti ini mungkin terlihat sebagai bentuk kepedulian, tetapi selama sistem yang diterapkan tetap sama, ia hanya akan menjadi sekadar ritual politik tanpa solusi nyata.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Sejak sistem demokrasi diterapkan, reses lebih sering menjadi ajang pencitraan politik ketimbang mencari solusi nyata bagi rakyat. Rakyat diminta menyampaikan keluhan, tetapi setelah itu mereka tetap dibiarkan menghadapi masalah sendiri. Janji-janji yang diberikan lebih sering menjadi formalitas yang diulang setiap tahun tanpa ada perubahan signifikan.

Lantas, sampai kapan kita membiarkan hal ini terus terjadi? Sampai kapan kita berharap pada sistem yang berkali-kali gagal memenuhi hak-hak dasar rakyat? Inilah saatnya untuk berpikir lebih dalam: apakah kita masih ingin bergantung pada janji kosong, atau mulai memperjuangkan perubahan yang benar-benar akan membawa kesejahteraan bagi umat?

Wallahualam bissawab.***