Mengenang Bemo Angkot Masa Lalu di Medan, Penumpang tak Marah Dipanggil Kambing!

Kandang10 Diur792 Dilihat

oleh: Diurnanta Qelanaputra

Jauh sebelum ada bus listrik Medan saat ini, pada tahun 60-an sampai akhir 80-an jalanan Kota Medan – seperti juga kota-kota besar lain di Indonesia Jakarta dan Surabaya- pernah diramaikan oleh angkutan kota  (angkot) bernama Bemo, kendaraan bermotor roda tiga mungil yang bagian depannya bulat melengkung,  bagian belakang dengan dinding terbuka untuk mengangkut  enam penumpang duduk berhadap-hadapan. Tiga di kiri tiga di kanan. Di depan, satu penumpang duduk di sebelah kiri supir.

Nama asli Bemo sebenarnya Midget,  dibuat oleh Daihatsu. Di Indonesia mulai dipasarkan sejak tahun 1962. Konon Bemo singkatan dari Becak Motor. Tapi belum pasti benar lantaran di Medan juga sudah ada becak bermotor yang disebut Becak Mesin.

Dulu pada zamannya, Bemo adalah transportasi publik yang melayani rute jalan-jalan utama di Kota Medan sampai ke pinggiran. Terminal utamanya atau kerennya Hub adalah Pajak Sambu. Semua bemo  berangkat dan berakhir di Sambu.

Saingan Bemo sebagai angkutan kota adalah oplet O` Desa Maju yang biasa disebut ODM. Sedangkan untuk ke Belawan ada bus Budi dan Setia. Pada tahun 70-an pernah ada bus Damri bertingkat, tetapi umurnya singkat.

Menyetop Bemo di tepi jalan cukup dengan mengeluarkan jari telunjuk, supir pasti mengerti dan segera meminggirkan kendaraannya. Bisa juga dengan mengayunkan tapak tangan saja.  Bila mau turun dari Bemo cukup berteriak kecil “Gerrr…” potongan kata “Pinggir” kepada abang supir ataupun “Geerr, Bang!”.

Demikianlah, penumpang di sepanjang jalan terkena sinar matahari langsung , meski panas tapi diimbangi hembusan  angin dari kiri kanan saat Bemo berjalan. Kecuali saat berhenti.

Selain angin, debu dan asap bebas berterbangan karena Bemo tak berpenutup total laiknya mobil roda empat. Persis puisi Chairil Anwar, Deru Campur Debu, Bemo menderu debupun terbang. Atau lagu Kansas yang hits di tahun 70-an “Dust in the Wind”. Angin bercampur debu, wangi parfum bercampur bau keringat dan asap.

Bemo memang dirancang tanpa jendela permanen layaknya mobil minibus, kecuali di bagian supir di depan.

Bila turun hujan, bagian terbuka di kiri kanan ditutupi terpal tipis yang dilepas dari gulungannya sebagai pelindung agar penumpang tak kena hujan. Hanya saja ada pada Bemo yang sehat, yang aksesorisnya masih lengkap. Pada bemo  tua, selain onderdi kokang sana kokang sini, tenda terpalnya jikapun ada  tak utuh lagi, tidak terkunci sehingga terbang terbang dibawa angin.

Apa boleh buat, penumpang di bagian belakangpun harus rela berbasah-basah terpercik tempias air hujan.

Seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan juga alasan mengejar setoran, belakangan jumlah penumpang bemo pun ikut bertambah.

Jika awalnya hanya memuat 3-3 penumpang di kiri kanan,  oleh supir ditambah jadi 4-4. Empat di kiri, empat di kanan. Kalaupun tetap tiga orang di satu sisi lantaran sang penumpang pantat dan badannya `offside` sehingga tak memungkinkan untuk dimuat 4 orang dalam satu barisan  bangku.

Begitupun kadang supir bemo tergolong `zolim`. Memaksa naik penumpang meski sudah sempit. Walhasil duduknya `freestyle`. Setengah pantat menempel di jok, setengah lagi menggantung. Adakalanya terpaksa duduk miring. Lutut antar penumpangpun saling bersenggolan.

Yang susah jika penumpang egois. Enggan bergeser ke dalam ketika ada penumpang belakangan naik. Betapa sulitnya saat masuk ke dalam dan susah juga ketika hendak turun.

Biasanya jika penumpang yang duduk di pinggir punya pengertian akan memilih turun sejenak memberi jalan keluar penumpang dari dalam.

Yang kasihan penumpang bertubuh kurus dan kecil. Siap-siaplah terjepit diantara penumpang di kedua sisi. Apalagi penumpangnya bertubuh besar, bau pula ketiaknya, sudahlah, ikhlaskan saja, Bro sambil menutup hidung di sepanjang jalan.

Seiring waktu berjalan, bemo di Medan  beranjak  tua. Kerap mogok di tengah jalan, radiator di samping supir mengeluarkan kepulan asap, busi nembak-nembak bak bunyi petasan, bodipun melapuk, jalan melambat.

Jika bemo mogok, penumpang laki-laki harus ikhlas menjadi relawan pendorong bemo, setidaknya ke tepi jalan bila mesin tak kunjung  hidup. Suku cadang susah didapat karena sudah sangat tua.

Pada akhir 70-an eksistensi bemo terusik dengan hadirnya angkot baru berjulukan Sudako, mini bus roda empat Daihatsu dengan pintu naik turun penumpang di bagian belakang, cet bodi berwarna kuning kunyit dan kap atas kuning gading.

Kehadiran Sudako yang kabarnya singkatan dari Sumatera Daihatsu Company- awalnya tak mengganggu eksistensi bemo, namun lama kelamaan jumlahnya semakin banyak, bemopun terdesak. Masyarakat pun mulai beralih meninggalkan bemo jika rutenya sama. Wajar, Sudako mobil baru dan kencang melaju di jalan. Sedangkan bemo mulai terbatuk-batuk.

Pada awal 80-an, jumlah sudako kian bertambah, dengan ukuran bodi lebih lebar. Itulah Sudako Hijet 55 yang jadi idola baru.Tak lagi lutut bersenggol lutut.

Sebaliknya supir bemo makin payah mencari penumpang. Tak jarang di rute yang sama supir bemo dan supir sudako bertengkar bahkan berakhir dengan adu fisik hanya gara-gara rebutan penumpang. Namanya penumpang tentu saja lebih memilih sudako yang `fresh`.

Di Sambu, pemandangan biasa pada sore hari calon penumpang berlari dan berebutan duluan naik Bemo sesuai rute yang tercantum di atas kap dan papan petunjuk. Terlebih bila sudah mendekati senja. Sambu dulu terkesan angker dengan penodong dan pencopet, sampai-sampai mengilhami produser film nasional membuat film “Pencopet”. Lagipula tak ada lagi layanan bemo kalau sudah malam hari dimana situasi Sambu sepi sekali.

Pada awal 90-an, satu per satu Bemo menghilang di jalanan kota Medan menyusul keluarnya edaran  larangan dari pemerintah kota pada akhir 80-an, izinnya tak lagi diperpanjang. Ada yang nekad tapi akhirnya pasrah bemonya sebagai sumber mencari nafkah diangkut petugas Kotapraja- sebutan untuk Satpol PP. Muncul Bajaj sebagai angkutan kota alternatif namun tidak mendapat respon baik dari masyarakat lagipula mobil India itu gampang rusak dan mogok.

Sudako yang sudah hadir lebih awal  gantian mendominasi jalan di Kota Medan karena lebih layak lebih kencang jalannya dibanding Bajaj.

Begitulah,  Bemo di Kota Medan akhirnya menjadi kenangan setelah selama hampir 4 dekade sejak 60-an hingga awal 90-an berjasa mengangkut  penumpang dari seluruh lapisan masyarakat Kota Medan untuk pergi belajar, bekerja, berniaga, pergi nonton bioskop, ke Taman Ria,  dan sebagainya.

Kini seperti haknya Bemo, Sambu sebagai terminal penghubung  penjuru Kota Medan pun tinggal kenangan. Ketenarannya ikut meredup.  Lokasi jalan-jalan dimana dulu Bemo dan Sudako ngetem menunggu penumpang sesuai line nya sudah berganti menjadi pasar pakaian bekas yang dikenal dengan nama pakaian Monza. Kios-kios Monza berdiri di kiri kanan jalan hingga tak kelihatan lagi bentuk jalan raya. Begitupun angkot pintu samping masih mampir sejenak mengangkut penumpang dari Sambu namun tidak lagi ngetem, hanya berhenti sejenak lalu berangkat lagi. Tidak ada lagi teriakan bersahut-sahutan memanggil penumpang sesuai jurusan yang akan ditempuh. “Anggrungg satu lagi, Anggrung , Perjuangan Perjuangan, Brayaannn, Kampung Baru,Kambing Kambing..”

Meskipun calon penumpang dipanggil  Kambing tak akan marah, malah beradu cepat mendatangi yang memanggil sebab Kambing yang dimaksud adalah rute  ke Jalan Sei Sikambing Medan.+