oleh: Diurnanta Qelanaputra
Sepuluh tahun lalu dalam lawatan ala flashpacker ke Beijing, ibukota Tiongkok, saya kaget dan terkagum-kagum saat naik bus kota dari hotel ke supermarket muslim yang menjual produk-produk halal berhubung stok makanan dari Medan sudah habis.
Lama perjalanan dari hotel ke Muslim Market menggunakan bus kota satu jam lebih.
Bagaimana tidak kagum, bus kotanya sangat luks dan bersih layaknya bus pariwisata. Dan bagaimana tidak kaget, sejauh itu jarak tempuh, penumpang cuma dikenakan ongkos 1 RMB (mata uang China) yang setara dengan sekitar 2250 Rupiah.
Kini, 10 tahun kemudian, di kota kelahiran, Kota Medan tercinta bus seperti itu sudah ada. Bus listrik Medan namanya, melayani beberapa penjuru Kota Medan dan Deliserdang dengan hub Lapangan Merdeka yang sementara ini di depan Graha Telkomsel dan Capital Building. Melayani tujuan Pinang Baris, Amplas, Belawan, Tuntungan dan Tembung. Sebagai warga, kita patut bangga punya bus listrik selayak di kota-kota negara maju.
Saya baru beberapa kali naik bus listrik ini karena kepo dan selanjutnya lebih efisien. Tak letih kaki menahan klos mobil yang non matik, tak perlu naik tensi menghadapi kelakuan supir angkot Medan dan bahkan supir mobil pribadi yang selalu arogan seenak perut , tidaksabaran, apalagi jika mobilnya tergolong mewah atau dianggap pemiliknya mewah padahal di negeri lain mungkin jadi angkot, atau seperti di Thailand mobil dobel kabin malah jadi angkutan kota dan angkutan hasil petanian.
Pertama kali naik bus listrik sewaktu masih gratis, Desember lalu, kedua setelah menerapkan ongkos Senin 5 Januari kemarin. Keduanya rute Tembung-Lapangan Merdeka. dan sebaliknya.

Pengalaman pertama kali naik dari Stasiun Kereta Bandarklipa Tembung. gagal berangkat di bus pertama karena walaupun gratis tapi calon penumpang harus mentap dulu barcode yang terletak di samping supir. Tadinya saya kira karena gratis bisa langsung naik. Syukurnya, petugas di lapangan cukup sabar menjelaskan prosesnya dan mengedukasi calon penumpang. Maklum barang baru. Apalagi waktu itu paket data habis, terpaksa lari dulu membeli ke kios sehingga ketinggalan bus yang di depan.
“Nanti saja Pak naik bus satu lagi,” kata petugas sambil memandu saya menggunaan e-walet untuk kemudian menscan barcode bus listrik. Petugas bilang, bus berangkat setiap 15 menit sekali. Benar saja, bus kedua berangkat tepat setelah 15 menit bus pertama meninggalkan stasiun,
Selain saya, ada rombongan ibu-ibu dengan anak-anak ikut menumpang. “Gak bisa satu kartu ya, Pak?” tanya seorang ibu. Rupanya satu kartu untuk satu orang.
Begitulah, bus pun akhirnya berjalan perlahan, sejenak saya de ja vu seperti naik bus listrik di Beijing dan bus Go KL di Kuala Lumpur yang lebih kurang sama bentuknya. Bedanya, kalau di negeri orang pemandangannya gedung-gedung tinggi maka di Medan gedung-gedung tingginya hanya di sekitar Lapangan Merdeka. Selebihnya rumah-rumah, kedai, dan lalu lalang kendaraan yang penuh dinamika untuk tidak mengatakan tidak disiplin di jalan raya terutama angkot dan pengendara sepeda motor.
Semula saya mengira bus listrik K5 yang berangkat dari Tembung menyusuri rute Jaan Letda Sujono lurus ke jalan Prof HM Yamin sampai Lapangan Merdeka, ternyata keliru. Bus berputar ke Jalan Mandala By pass. Sampai lampu merah simpang Wahidin, bus pun belok kanan menuju ke jalan Thamrin.
Bus listrik Medan yang saya tumpangi dari Tembung City – begitu orang sering menyebut- di perjalanan banyak stop mengangkut dan menurunkan penumpang di halte bayangan sepanjang Jalan Letda Sujono.
Disebut halte bayangan karena memang haltenya belum ada. Hanya ruang terbuka di tepi jalan. Hanya beberapa yang aspalnya dicat merah maron sebagai penanda “halte” dan plang kecil di atas sebagai petunjuk bagi calon penumpang.
Selepas Lenda Sujono, frekuensi berhenti menaikturunkan penumpang berkurang. Terutama setelah masuk jalan Wahidin. Jika tak salah, hanya satu kali sebelum Thamrin Plaza di seberang sekolah. Beberapa kali supir mengerem tiba-tiba membuat penumpang terhenyak. Pasalnya gegara ada kendaraan tiba-tiba muncul di depan bus.
Saya yang berniat turun di persimpangan Jalan Pemuda-Pandu terpaksa kecewa karena hanya tersisa pemberhentian terakhir yaitu Lapangan Merdeka atau saat ini di depan gedung Graha Telkomsel dan Capital. Tidak ada pemberhentian sementara atau halte bayangan di Jalan Pemuda, Kesawan hingga Jalan Balai Kota. Apakah karena di sana rawan macet? Entahlah.
Yang pasti, begitu turun di halte bayangan Lapangan Merdeka hujanpun turun, membuat saya dan penumpang lain kalang kabut. Begitu juga calon penumpang yang sedang menunggu. Tak ada tempat berlindung karena tak ada bangunan halte disana. Kacau.
Kejadian serupa juga terulang saat naik bus listirk Medan kedua kali. Lalap menunggu bus jurusan Tembung yang tak kunjung datang, hujan pun turun. Tak ada tempat berteduh. Alhasil daripada menanggung risiko terpaksa pesan taksi online.

Riuh suara penumpang
Kala pertama naik bus listrik Medan. suasana di dalam bus riuh oleh suara wanita, ibu-ibu bercakap-cakap. Kadang diseling gelak tawa. Berbincang tentang apa yang dilihat di jalan, tentang bus listrik, tentang rute, tentang perilaku orang dan supir angkot, pokoknya membahas dunia dan seisinya. Mirip emak emak ngumpul di arisan dan kedai sampah.Tak peduli didengar penumpang lain yang ingin ketenangan. Sepertinya mereka sedang berwisata, city tour keliling Medan dengan bus listrik. Karena sempat terdengar mereka berdiskusi, habis turun nanti lanjut naik bus listrik yang ke Belawan.
Ya, maklumi saja, masyarakat -ibu ibu- itu sedang euforia naik bus listrik yang sejuk dan nyaman di dalam. Charger HP pun tersedia gratis. Jangan bilang SDM rendah. Sebab pengalaman baru yang menyenangkan bagi mereka dibandingkan mereka naik angkot yang silap-silap lari peranakan dan keguguran karena kencang kurang kencang, diduga supirnyapun sedang tinggi setelah mompa sabu.
Di negeri orang, naik bus kota nyaris tak ada suara orang konon lagi berisik dan terbahak bahak. Di sana penumpang asyik dengan HPnya yang disetel silent dan mengenakan headset . Atau duduk diam dan tenang, membaca buku. Antar penumpang saling menghargai hak pribadi. Tak mau orang lain terganggu.
Mungkin karena bus listrik masih baru di Medan, maklumi saja jika penumpang sangat berisik seperti rombongan ibu-ibu tersebut. Mudah-mudahan tak lama lagi para penumpang memiliki kesadaran untuk pelan bercakap sehingga penumpang lain tidak terganggu.
Demikian pula saat akan naik bus. Jika di negara maju calon penumpang bus antri panjang dan teratur bahkan sampai 200 meter seperti pemandangan di Beijing pagi dan sore hari, di kita sini masih berebutan naik. Apalagi jika hujan sudah mulai turun, berdesakan mau duluan.
Namun, dibandingkan naik bus listrik Go KL di Kuala Lumpur Malaysia maupun bus kota di Beijing, ada satu kelebihan penumpang bus listrik di Kota Medan tak ditemukan di tempat lain. Hampir semua penumpang sesaat akan turun berteriak kecil mengucapkan terima kasih kepada pak supir. “Makasih ya Pakkk…” .
Hmm…Ini Medan, Bung! **
.