TEL AVIV | okemedan. Israel memerintahkan penutupan kantor-kantor lokal berita satelit Al Jazeera. Langkah itu meningkatkan perseteruan sejak lama antara badan penyiaran itu dengan pemerintahaPerdana Menteri Benjamin Netanyahu dan menambah ketidakpastian perundingan gencatan senjata dengan Hamas yang dimediasi Qatar.
“Pemerintah dengan suara bulat setuju untuk menutup corong penghasutan Hamas di Israel, yaitu saluran Al Jazeera. Perintahnya baru saja ditandatangani, dan kami akan menerapkannya. Corong hasutan Hamas, yang menghasut (untuk) melawan negara Israel dan membahayakan keamanan Israel dan tentara IDF (Israel Defence Forces), tidak akan lagi mengudara di Israel dan peralatannya akan disita.”
Demikaian pernyataan Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi selang dua jam setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengumumkan penutupan jaringan berita satelit Al Jazeera milik Qatar, Minggu (5/5).
“Laporan-laporan Al Jazeera membahayakan keamanan Israel dan menghasut untuk melawan tentara IDF. Saatnya menutup corong Hamas dari negara kita,” imbuh Karhi.
Meskipun di masa lalu Israel kerap mengambil tindakan terhadap wartawan, secara individu, baru pertama kalinya Israel menutup kantor media berita asing seperti ini.
Pernyataan dari kantor Netanyahu mengatakan berdasarkan undang-undang yang disahkan bulan lalu, pemerintah dapat mengambil tindakan terhadap saluran asing yang dianggap “merugikan negara.”
Laporan Langsung Gaza dan Pernyataan Hamas
Al Jazeera telah tanpa henti melaporkan perang Israel-Hamas sejak serangan awal kelompok militan Hamas ke selatan Israel pada 7 Oktober lalu, dan mempertahankan liputan langsung dari Jalur Gaza selama 24 jam sehari di tengah ofensif darat Israel yang menewaskan dan melukai sejumlah staf jaringan media itu.
Selain laporan-laporan tentang korban dari medan tempur di lapangan, siaran dalam Bahasa Arab kerap menyiarkan secara apa adanya pernyataan-pernyataan Hamas dan kelompok militan lain di kawasan itu; langkah yang mengundang kemarahan Netanyahu.
Kepala Biro Al Jazeera di Israel dan wilayah Palestina Walid Al-Omari mengecam keputusan Israel itu sebagai hal yang berbahaya.
“Ini adalah keputusan yang sangat berbahaya terhadap Al Jazeera dan media internasional pada umumnya. Karena sudah jelas bahwa mereka (Israel.red) ingin mencegah publik untuk mengetahui apa yang terjadi dalam perang ini, di Gaza, di dalam Israel, di Tepi Barat,” kata Walid.
“Keputusan ini muncul sebagai akibat dari hasutan terhadap kami sejak hari pertama perang ini, dan bahkan sebelum perang ini. Dan hasutan ini diarahkan setiap saat oleh politisi dan orang-orang yang punya kepentingan politik di dalam Israel,” imbuhnya.
Dampak Terhadap Perundingan Gencatan Senjata
Keputusan itu berpotensi meningkatkan ketegangan dengan Qatar pada saat pemerintah Doha – bersama Mesir dan Amerika Serikat (AS) – sedang memainkan peran kunci dalam upaya mediasi untuk menghentikan perang di Gaza.
Hubungan Netanyahu dan Qatar tegang, terutama sejak ia melontarkan komentar bahwa Qatar tidak memberikan tekanan yang cukup kepada Hamas untuk mendorongnya mengalah saat merundingkan persyaratan tercapainya kesepakatan gencatan senjata. Sejumlah pemimpin Hamas di pengasingan tinggal di Qatar. Kedua belah pihak sebenarnya hampir mencapai kesepakatan, tetapi beberapa putaran pembicaraan sebelumnya telah berakhir tanpa kesepakatan.
Tak lama setelah keputusan pemerintah itu, anggota Kabinet dari Partai Persatuan Nasional mengkritisi waktu dikeluarkannya keputusan itu. Ia mengatakan hal itu “dapat menyabotase upaya menyelesaikan negosiasi dan berasal dari pertimbangan politik.” Namun secara umum, partai itu mengatakan mereka mendukung keputusan tersebut.
Israel dan Al Jazeera Tak Pernah Harmonis
Hubungan Israel dan Al Jazeera memang tidak harmonis. Israel menuduh jaringan berita itu bias. Hubungan ini semakin memburuk ketika koresponden Al Jazeera, Shireen Abu Akleh tewas, terbunuh dalam sebuah serangan militer Israel di Tepi Barat yang diduduki, hampir dua tahun lalu.
Hubungan itu terus anjlok ke titik nadir pasca serangan Hamas ke selatan Israel pada 7 Oktober lalu yang menewaskan 1.200 orang. Hamas juga menculik 250 orang lainnya, yang sebagian kecil hingga saat ini masih ditahan.
Serangan Israel pada Desember lalu menewaskan seorang juru kamera Al Jazeera saat ia sedang melaporkan perang di selatan Gaza. Kepala Biro Al Jazeera di Gaza, Wael Dahdouh, juga menderita luka-luka dalam serangan itu.
Israel pada 2017 pernah mengancam akan mencabut kredensial atau surat tugas seorang wartawan Al Jazeera setelah muncul sebuah wawancara di mana wartawan itu menyampaikan dukungan bagi “perlawanan” Palestina.
Israel memiliki beberapa media lokal yang kritis dan vokal, tetapi memandang sebagian media internasional bias terhadapnya.
Al Jazeera adalah salah satu dari sedikit media internasional yang tetap berada di Gaza selama perang Israel-Hamas, menyiarkan adegan-adegan berdarah serangan udara dan rumah sakit yang penuh sesak, dan menuduh Israel melakukan pembantaian. Israel menuduh Al Jazeera berkolaborasi dengan Hamas.
Al Jazeera, yang didanai oleh pemerintah Qatar, belum menanggapi permintaan komentar dari The Associated Press.
Meskipun operasi Al Jazeera dalam bahasa Inggris sering kali menyerupai program yang ditemukan di jaringan siaran besar lainnya, layanan siaran bahasa Arabnya kerap menerbitkan pernyataan video apa adanya dari Hamas dan kelompok-kelompok militan lainnya di wilayah tersebut. Hal yang sama juga terjadi selama pendudukan Amerika di Irak setelah invasi pada 2003 yang menggulingkan diktator Saddam Hussein.
Kepala Biro Al Jazeera di Israel dan wilayah Palestina Walid Al-Omari mengatakan keputusan Israel itu hanya berdampak pada operasi Al Jazeera di Israel, dan “tidak mencakup Tepi Barat karena itu merupakan wilayah pendudukan.” Namun, tambahnya, tidak seorang pun dapat memperkirakan kalau kebijakan itu “akan diperluas hingga mencakup kru kami di Tepi Barat.” [em/ka/jm]
VOA