MEDAN | okemedan. Stasiun Pegisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) di Kota Medan dalam kondisi tidak aktif. Dari sebanyak delapan unit SPBN, hanya satu unit yang masih beroperasi. Akibatnya, nelayan kecil kesulitan mengakses BBM solar bersubsidi.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota Medan, Muhammad Isa Albasir, menyangkal keterangan yang disampaikan pihak Pertamina dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan pada Selasa, 21/9, di Aula Gedung Baru DPRD Sumut.
RDP gabungan antara Komisi A dan Komisi B yang dipimpin Sekretaris Komisi B, Ahmad Hadian, menghadirkan pihak-pihak pemangku kebijakan seperti PT Pertamina (Persero) Medan Tbk, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumut, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumut, dan diikuti organisasi nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pusat, Medan, Batubara, dan Tanjungbalai Asahan, serta organisasi koalisi Perkumpulan Inisiatif, International Budget Partnership/IBP, dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).
“Semuanya dalam kondisi tutup, kecuali satu unit di kawasan TPI, Bagan Belawan. Itu pun, sesekali saja buka. Selama ini, nelayan kecil membeli solar ke pedagang eceran seharga Rp6.000 sampai Rp7.000 per liter,” ungkap Basir.
Dalam RDP berdurasi sekitar 2,5 jam itu, KNTI memaparkan hasil survey nasional kondisi nelayan 5 GT ke bawah (khusus wilayah Sumut) yang kesulitan mengakses BBM solar bersubsidi.
Masing-masing pihak memberikan keterangan soal kewenangan lembaganya terkait dengan kuota BBM solar bersubsidi. Ada kesan saling lempar tanggung jawab dalam hal ini.
Pihak Pertamina yang diwakili Dedi Djukardi, menyatakan, BBM bersubsidi bagi nelayan, 91 persen sudah tersalurkan sesuai kuota yang ditetapkan pemerintah melalui SPBN.
Kadis DKP Sumut, Mulyadi Simatupang, menjelaskan, berdasarkan peraturan, DKP provinsi hanya mengeluarkan rekomendasi untuk volume 10-30 Gross Tonnage (GT). Sedangkan ukuran 5 GT ke bawah, dikeluarkan DKP kabupaten/kota.
Menanggapi keterangan-keterangan tidak sinkron yang muncul dalam RDP gabungan, Sekretaris Komisi B, Ahmad Hadian, mensinyalir kuota BBM solar bersubsidi yang dikeluarkan pihak Pertamina hanya dinikmati nelayan dengan volume 10-30 GT saja. Sementara, nelayan kecil dengan ukuran sampan 5 GT ke bawah, tidak dapat mengaksesnya.
“RDP Gabungan ini, kita harapkan bisa jadi pintu masuk untuk menangani persoalan nelayan kecil sebab sudah dihadiri pihak-pihak pemangku kebijakan,” kata politisi PKS yang akrab disapa Kang Hadian.
Terkait dengan perbedaan data di Pertamina serta fakta yang terjadi di lapangan, Kang Hadian mencecar sejumlah pertanyaan kepada pihak Pertamina. “Misalkan saja soal 91 persen kuota yang tersalur, apakah hanya untuk 10 GT ke atas saja, atau seperti apa? Bagaimana sebenarnya jalur distribusi dari Pertamina ke nelayan dan penentuan kuotanya? Siapa yang menangani atau menindak SPBN tidak aktif?”
Atas pertanyaan ini, Dedi menjelaskan, penetapan kuota BBM solar bersubsidi ditentukan berdasarkan jumlah surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh dinas terkait. Selanjutnya, surat rekomendasi tersebut disampaikan dinas terkait ke BHP Migas untuk ditinjau. Berdasarkan hasil tinjauan itulah, maka akan dievaluasi kuotanya ke lembaga-lembaga penyalur untuk didistribusikan setiap bulannya.
“Soal kuota, tidak bisa dipindah-pindahkan ke SPBN lain. Volume ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan untuk SPBN yang tidak aktif, Pertamina tidak bisa serta-merta menutup SPBN,” urai Dedi.
Terkait izin SPBN, Mulyadi mengungkapkan rencana akan turun ke lapangan pasca RDP untuk meninjau izin SPBN yang tidak aktif. “Izin SPBN dari kementerian,” katanya.
Kisruh Data Nelayan
Sekretaris Jenderal KNTI, Iing Rohimin, menyebut, pangkal masalahnya ada pada data nelayan. “Kami mohon supaya DKP dan jajarannya merapikan data nelayan.” Imbuhnya.
Iing merunut asal usul munculnya kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah. “Kuota diusulkan DKP provinsi. DKP provinsi, dapat data dari DKP Kabupaten/kota. Persoalannya, data yang ada hanya untuk 10 GT ke atas. Sedangkan 5 GT ke bawah, tidak terdata.”
Menangapi pernyataan ini, Mulyadi menjelaskan, masalah data, ada dua. Pusat menugaskan PPL. Tapi, PPL yang digaji pusat, tidak mau memberikan data ke DKP. DKP Sumut minta data ke DKP kabupaten/kota.
“Pasca RDP ini, kita akan koordasi ke jajaran DKP kabupaten/kota
Pengamat anggaran dari FITRA, Ervin Kaffah, meminta supaya pemerintah merapikan data nelayan 5 GT ke bawah. Banyak nelayan yang kesulitan mengakses BBM bersubsidi sebab persyaratannya yang cukup rumit. Jika memungkinkan, tidak ada salahnya kalau persyaratannya disederhanakan. Dengan upaya penyederhanaan persyaratan tersebut, tentu akan dapat menghemat anggaran yang harus dikeluarkan negara.
Alternatif Solusi
Kang Hadian menawarkan alternatif solusi yang mungkin bisa ditempuh untuk menangani persoalan ini. Dia mencontohkan model kerja pemerintah Jawa Tengah yang membeli BBM bersubsidi kepada Pertamina. Lalu, BBM tersebut diberikan kepada nelayan kecil dalam bentuk kartu nelayan. Dengan cara seperti itu, tampaknya bisa lebih tepat sasaran.
Untuk membeli kuota BBM tersebut, Ketua Komisi A DPRD Sumut, Hendro Susanto, menyatakan, akan mengawal proses penganggaran supaya benar-benar dapat teralokasi di APBD 2022.
OM – Pipo