JIKA ingin menikmati seni sepakbola indah, magis individu tontonlah Copa; jika ingin menikmati sepakbola sistematis dan kolektivitas tim tontonlah Euro.
Semua hal buruk pernah terjadi dalam pertandingan Brazil kontra Argentina, kontak fisik kasar, penonton masuk lapangan, aksi walk-out, ejekan rasialis, sabotase meracuni minuman lawan.
Brazil sebagai tuan rumah difavoritkan untuk memenangi trophy Copa kesepuluh tahun ini, bintang mereka Neymar, Firminho, Gabriel Jesus dan pelatih Tite yg berpengalaman menjadi alasannya.
Argentina yang kini dilatih kwartet pelatih muda Scaloni, Ayala, Aimar serta Walter Samuel memiliki pemain terbaik di eranya yaitu La Pulga – Messi, sang penyelamat.
Topik artikel ini adalah tentang pelatih legendaris Argentina, salah satunya Luis Cesar Menotti, yang dijuluki “El Flaco”, si kurus. Menotti membawa timnya menjuarai piala dunia 1978 dengan pemain Mario Kempes, Daniel Passarella, Osvaldo Ardiles mengalahkan kekuatan “Total Football” milik Belanda.
Ada dua aliran kepercayaan dalam buku panduan sepakbola Argentina yaitu Menottis dan Bilardois, merujuk pada metode taktik Carlos Bilardo, pelatih saat Argentina juara Piala Dunia 1986 yang bermain pragmatis serta Menotti yang mengandung seni keindahan sepakbola Tango.
Menotti, 82 tahun menyebut taktiknya sebagai “Sepakbola Sayap Kanan”, baginya akan selalu ada ideologi dalam sepakbola yang diartikan bahwa hidup adalah sebuah perjuangan, sepakbola adalah kekuatan sekaligus pencarian kemenangan dgn sentuhan metode yang indah. Dalam setiap pertandingan selalu ada resiko, satu-satunya cara menghindari resiko tersebut adalah dengan tidak usah bertanding. Sepakbola adalah alat untuk bergembira.
Bagi Maradona, Menotti adalah dewa, “Setiap kali El Flaco berbicara, pikiranku mendadak senyap; itu terjadi karena El Flaco adalah dewa sepakbola”.
Untuk Menotti sepakbola itu flexibel di lapangan, efektivitas perpaduan harmonis antara kecepatan dan ketepatan layaknya tarian Tango yang mengikuti irama. Memainkan sepakbola juga bisa dilakukan pelan², tetapi kemudian dengan mendadak melakukan terobosan ke daerah lawan, kata sang maestro.
Namun pilihan tepat Argentina sekali ini harus main cepat di final nanti karena inilah momen akhir puncak karir Messi, Di Maria dan Kun Aquero untuk menyabet Copa setelah gagal di final, kalah dari Chile di dua kesempatan, terakhir kali menjuarainya pada tahun 1993 saat dihuni legenda Gabriel ‘Batigol” Batistuta, Diego Simeone dan si gelandang gondrong yang elegan Fernando Redondo.
Aaah, bisa merinding juga mendengar lagu, “Don’t cry for me, Argentina” / dengan lirik puitisnya It won’t be easy. The truth is, i never left you, I kept my promise , yangg dinyanyikan ulang oleh sang diva Madonna, dalam film Evita.
Inilah “Super-Classico” yang akan jadi kenangan indah bagi kedua sahabat Neymar dan Messi yang saling berhadapan. Panggung stadion Maracana menjadi saksi siapa pemenangnya.
Kishan Raj, Pencinta Sepakbola “Gol Indah”