MAKNA PEREMPUAN

Okedukasi17 Dilihat

Oleh : Dr. Mulyadi, M.Hum (Pakar Bahasa/Sekretaris Prodi S3 Linguistik USU)

SEMULA saya tidak tahu bahwa arti kata “perempuan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dipersoalkan oleh sejumlah kalangan, di antaranya oleh vokalis Barasuara, Asteriska, di akun istagramnya dan juga oleh sejumlah aktivis dan pegiat hak perempuan. Saya jadi tahu kasus ini tengah viral setelah saya dijapri seorang wartawan (kampus) untuk minta waktu wawancara seraya mengirimkan link beritanya. Intinya, arti kata “perempuan” di KBBI dikritik karena berkonotasi negatif dan merendahkan kaum perempuan. Mereka lalu meminta arti kata itu diubah agar lebih berkonotasi positif.

Tanggapan saya atas kasus ini dapat diringkas dalam tiga butir penjelasan berikut. Pertama, kamus adalah rekaman penggunaan bahasa atau fakta lingual yang ada di masyarakat. Itulah tugas yang dikerjakan oleh para ahli perkamusan di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. Oleh karena itu, meminta perubahan makna kata “perempuan” di dalam kamus sama artinya kita menolak fakta bahasa yang terjadi di masyarakat. Ini tentu sikap yang aneh.

Kedua, makna kata adalah hasil kesepakatan dari masyarakat bahasa. Makna itu lahir dari pikiran penuturnya yang kemudian disetujui oleh masyarakat. Apabila ada anggapan bahwa terjadi ketidakadilan atau sikap diskriminatif terhadap makna kata “perempuan” dalam penggunaan bahasa Indonesia, sikap diskriminatif itu sesungguhnya ada pada pikiran penuturnya, bukan pada bahasa. Misalnya, mengapa kita menamai “menteri pemberdayaan perempuan”, bukan “menteri pemberdayaan wanita”? Begitu juga, mengapa kita menggunakan diksi “wanita karier” dan bukan “perempuan karier”. Ini contoh betapa diskriminatifnya pikiran penutur yang direalisasikan dalam penggunaan bahasanya.

Ketiga, sudah masanya dan sangat mendesak untuk menyusun kamus yang berbasis pada (medan) makna, dan bukan berbasis pada alfabet. Semua kamus di Indonesia dihasilkan dalam satu model dan makna katanya dirumuskan secara berputar-putar. Cobalah buka KBBI (1995).

Makna kata “memandang”, “menonton”, “menengok”, dan “memperhatikan” dibatasi dengan ‘melihat’ dan sebaliknya makna kata “melihat” dibatasi dengan keempat kata tersebut. Parafrase seperti ini tentu membingungkan bagi orang-orang yang ingin mengetahui dan sekaligus membedakan arti kata-kata itu dalam bahasa Indonesia.

Jika berbasis pada semantik, makna kata yang dideskripsikan mestinya berfokus pada perbedaan komponen makna di antara kata-kata yang dianggap sinonim. Dalam artikel saya yang berjudul “Struktur Semantis Verba Penglihatan dalam Bahasa Indonesia (2000) yang terbit di jurnal Linguistik Indonesia, saya mengusulkan model parafrase seperti ini untuk kata-kata penglihatan.

Memandang: melihat sesuatu/seseorang selama beberapa waktu karena orang ini merasakan sesuatu, bukan karena ingin mengetahui sesuatu.
Menonton: melihat sesuatu selama beberapa waktu karena orang berpikir bahwa sesuatu dapat terjadi pada sesuatu.
Mengawasi: melihat seseorang selama beberapa waktu karena orang berpikir bahwa orang ini akan melakukan sesuatu.

Lalu, bagaimana dengan makna kata “perempuan” dan “wanita” yang dipersoalkan itu? Kita bisa berfokus untuk membedakan makna kedua kata itu dari segi komponennya. Sejalan dgn contoh pemakaian kedua kata itu di masyarakat dapat dideskripsikan bahwa perempuan berciri (+lemah, -pekerja) dan wanita berciri (-lemah, +pekerja). Untuk parafrase maknanya dgn menggunakan perangkat makna asali, seperti diilustrasikan pada kata penglihatan di atas tentu memerlukan riset yang mendalam. Ini merupakan peluang dan tantangan bagi para ahli yang tertarik untuk menghasilkan kamus yang berbasis pada makna dalam bahasa Indonesia.

Tinggalkan Balasan