Medan | Okemedan. Jam dua dinihari, 30 September 1979, di sebuah kamar di Rumah Sakit Kodam II Bukit Barisan, Medan, terdengar suara wanita melagukan “Figurku.” Ia menyanyi atas permintaan seorang laki-laki yang terbaring sakit di kamar itu: suaminya, pencipta lagu tersebut.
Dua hari kemudian, 2 Oktober 1979 pukul 08.35 WIB, laki-laki itu menghembuskan nafas terakhirnya. Dialah Lily Suhairy, sampai akhir hayatnya, selama 25 tahun memegang pimpinan Orkes Studio RRI Nusantara I Medan.
Mungkin tak banyak yang masih ingat wajah di foto ini. Sudah nasib, pencipta lagu di negeri ini gampang dilupakan -sementara lagu ciptaannya dan para penyanyi yang membawakannya lebih diingat dan dihargai.
Tahun 1970, misalnya, sebuah perusahaan rekaman piringan hitam mengeluarkan satu album band The Rollies. Disertakan juga lagu Selayang Pandang — yang penciptanya disebut sebagai anonim. Padahal itulah salah satu lagu Lily yang berhasil dan sempat populer di tahun 50-an di seantero tanah air. Waktu itu Lily sempat protes. Tapi karena pihak perusahaan mengaku memang tak tahu betul, dan undang-undang yang ada pun tak mendukung protes seniman jenis itu, komponis itu akhirnya diam.
Perjalanan hidupnya membuatnya lebih percaya kepada musik. Kemudian juga (mudah-mudahan dimaafkan) minuman keras. Yang pertama memperkaya perbendaharaan musik kita dengan 182 lagu dengan warna langgam Melayu yang khas. Yang kedua menggerogoti kesehatannya, kemudian memberinya sakit kuning dan akhirnya merenggut nyawanya.
Lahir di Bogor, 23 Desember 1915, besar di Sumatera Utara. Konon sejak kecil sudah lebih menyukai kesenian daripada harus tekun dengan pelajaran sekolah. Meski begitu sempat menyelesaikan Mulo — setingkat SMP. Pengetahuan musiknya diperoleh dari seorang Jerman di Medan. Dan minatnya itu diam-diam terus terpupuk ketika 1934 ia bekerja di perusahaan rekaman ‘His Master’s Voice’ di Singapura.
Lagu pertamanya tercipta ketika dia dikecewakan seorang gadis : “Hatiku Patah.” Tiga tahun di rantau orang, kembali ke Medan karya-karyanya mulai lahir. Salah satunya berjudul “Pemuda Indonesia.” Lagu bertema perjuangan itu sempat memasyarakat dalam Perang Kemerdekaan. Karena itulah antara lain dia ditangkap Belanda — dan disiksa.
Pada mata kakinya sebelah kanan, juga ketika jenazahnya dimandikan, ada bekas luka bakar itu. Justru masa-masa pahit itulah –zaman Jepang, dan kemudian Perang Kemerdekaan — masa subur Lily. Bunga Tanjung, Bunga Teratai, Selendang Pelangi, Rayuan Kencana, Aras Kabu, -menurut BJ Soepardi (50 tahun, pianis yang pernah bekerja sama dengan Lily) dalam acara RRI Jakarta mengenang almarhum, disebutnya sebagai lagu-lagu besar yang lahir di zaman itu.
“Aras Kabu” misalnya menggambarkan sebuah pesawat Sekutu yang menungkik dan memberondong Stasiun Kereta Api Aras Kabu. Orang-orang bergelimpangan, mati di depan Lily yang sedang berada di stasiun itu dan kebetulan selamat. Lagu instrumentalia itu sampai sekarang masih membuat Haji Anang Dahlan, wartawan senior Medan sahabat Lily, kalau mendengarnya jadi termenung.
“Rasanya seperti saya menyaksikan sendiri tragedi itu.”
Nasib Lily memang tak gemilang. Sampai akhir hayatnya, meski menjadi pimpinan Orkes Studio Medan (OSM) selama 25 tahun, ia belum tercatat sebagai pegawai tetap RRI sana–hanya honorer. Honor terakhir yang diterimanya berjumlah Rp 45 ribu sebulan. Dan dia sendiri memang tak pernah berusaha mengurusnya.
Lily sempat mempunyai tiga isteri dalam hidupnya. Yang dua sripanggung Medan di tahun 40-an, yang ketiga seorang penyanyi. Hanya ada dua anak-dari isteri kedua saja :
- Darma Bhakti (kini 71tahun)
– Evi Febriana > Yakub , Raditya Yehuda , Yesaya
– Eva Ria > alm. Ramadhan , Andy , Anggi
– Sari > Fajar , Reji
– Ervinsyah > Diana , Dinda
– Nina > Rizky , Membot
– Fian > Aisyah
– Ayu > Zuhairy Akbar , Arfan
2.Dewi Jinggawaty (tutup usia pada usia 69 tahun – 2020)
– Yuni > Neni , Silvi
– Hendra > Boy , Miko , Dikha
– Desy > Lia
– Ivan
Tapi Lili dan Dewi Tum, isteri keduanya, rupanya harus bercerai ketika Jinggawaty baru berusia beberapa bulan.
“Sarapan pagi ayah Vigour (sejenis minuman keras),” kata Jingga mengenang masa lalunya.
“Tapi kalau barusan minum ayah gampang diajak ngobrol. Kalau dia tak minum, seharian tak mau bicara.” Itu pula cerita Ida Surya isteri ketiga Lily yang menyanyikan “Figurku,”
Haji Dahlan, wartawan senior itu, pun mengira begitu. “Dia itu pejuang yang jujur. Tapi apa penghargaan yang diterimanya” kata Dahlan.
Tapi penghargaan memang pernah diterimanya, paling tidak dua kali. 1975, oleh PWI Cabang Medan–sebagai salah seorang dari 4 seniman setempat yang layak dihormati. Penghargaan kedua diterimanya dari Departemen P & K bersama beberapa seniman tua dari daerah, Maret 1979 di Jakarta.
Penghargaan terakhir itu sangat berkesan di hatinya, karena diserahkan Menteri Daoed Joesoef–yang dikenalnya sejak kecil.
Tapi “Figurku” yang ingin didengarnya kembali pada saat-saat terakhirnya, mungkin bisa menjelaskan frustrasi Lily. Menurut Haji Dahlan, lagu itu diciptakan Lily seusai Perang Kemerdekaan. Tapi “Figurku” memang bernada sendu dan syairnya pun menyuarakan satu penyesalan. Walaupun tanpa mengerti latar belakang lagu itu, asosiasi kita memang tak harus pada perjuangan.
Untuk mengenang komponis Lily Suheiry. Walikota Medan pada waktu itu [1987] H. Agus Salim Rangkuti mendirikan patung dan taman Lily Suheiry yang terletak di tengah-tengah kota Medan di Jalan Palang Merah simpang Jalan Listrik Medan.
Jangan pernah membayangkan taman ini seteduh atau seluas taman Ganesha di Kota Bandung misalnya. Nihil! Jangan pula membayangkan patung Lily Suheiry sedang memainkan biola dapat kita lihat. Absurd! Patung tersebut tidak jelas wajah siapa, bahkan buruk sekali.
Di bawahnya pun tidak ada tertera keterangan bahwa patung tersebut adalah maestro besar Indonesia yang berada di Medan dialah Lily Suheiry.
Padahal apa susahnya bagi Pemkot Medan untuk membuat atau menempakan patung yang berbentuk rupa Lily Suheiry. Banyak sekali pematung-pematung yang bisa mengolah kayu, batu, tembaga, kuningan. Tidak dapatkah Pemkot Medan melakukan hal tersebut? . Penulis: Raditya Yehuda (Cucu Lily Suheiry)
OM-fan