MEDAN | okemedan. Sidang tuntutan kasus penyekapan dan penculikan atas terdakwa Susanto alias Ayong (40) digelar di ruang Cakra 7 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (15/12/2020) sore.
Dalam tuntutan dibacakan jaksa pengganti Robert Silalahi di hadapan majelis hakim diketuai Jarihat Simarmata, terdakwa hanya dituntut hukuman 9 bulan penjara.
“Menuntut supaya majelis hakim menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dengan hukuman pidana 9 bulan penjara,” sebut Robert Silalahi sebagai jaksa pengganti Tiorida Hutagaol dan Victor Nelson yang kompak tak menghadiri persidangan tersebut.
Tuntutan 9 bulan penjara tersebut disampaikan jaksa pengganti Robert Silalahi atas perbuatan terdakwa Ayong melanggar Pasal 333 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana yang ancaman hukumnya 8 tahun penjara dan sangat jauh dari tuntutan yang disampaikan.
Usai tuntutan dibacakan, majelis hakim selanjutnya menunda persidangan hingga dua pekan ke depan. Majelis hakim memberikan waktu kepada terdakwa dan pengacaranya menyampaikan pembelaan yang direncanakan pada 29 Desember mendatang.
Keluarga Korban Kecewa dan Menduga Adanya “Permainan” Jaksa
Mendengar tuntuan tersebut keluarga korban, Sjamsul Bahari alias Ationg yang hadir dalam persidangan tersebut spontan murka. Istri korban, Fenny Laurus Chen mengaku sangat kecewa dengan tuntutan yang diberikan JPU terhadap terdakwa.
“Nggak manusiawi kurasa jaksanya ini semua. Ancaman hukumannya 8 tahun penjara, ya gila aja kalau tuntutannya cuma 9 bulan penjara,” ketusnya kepada sejumlah wartawan usai persidangan.
Fenny Laurus Chen juga menduga adanya “permainan” Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani perkara tersebut. Pasalnya selain ketidakhadiran kedua JPU tanpa alasan yang jelas dalam sidang tuntutan itu, dirinya juga mengaku merasakan beberapa kejanggalan dalam proses hukum kasus penyekapan dan penculikan yang menimpa suaminya.
“Bisa pula dua-duanya jaksa yang nangani perkara ini tak kelihatan batang hidungnya tanpa alasan yang jelas!?. Padahal ini kan agenda sidangnya tuntutan, dan tuntutan itu mereka yang membuat, kayaknya memang ada permainan jaksa ini. Memang dari awal pun banyak kali ku rasa ada kejanggalan,” ujarnya.
Berkaitan kejanggalan-kejanggalan tersebut Fenny Laurus Chen menyampaikan bahwa keluarga korban berencana akan melayangkan surat ke sejumlah pihak terkait. Beberapa di antaranya kepada Kepala Kejaksaan Negeri Medan, Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAMWAS), Ketua Ombudsman RI Perwakilan Sumut dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
“Suratnya langsung kami siapkan supaya nanti secara resmi disampaikan. Kita berharap semua kejanggalan-kejanggalan itu nantinya bisa ditanggapi. Saya cuma meminta keadilan atas semua yang menimpa suami saya,” tandasnya.
Sementara itu sebagaimana dikutip berdasarkan dakwaan jaksa Nelson menjelaskan, kasus itu bermula pada Januari 2020 lalu. Saat itu, terdakwa bersama teman-temannya menjemput saksi korban dari Gedung Selecta Jalan Listrik, Medan Petisah. Saksi korban dijemput untuk memintanya membayar utang.
Sementara, menurut istri korban, Fenny Laurus Chen, peristiwa penculikan suaminya terjadi pada 9 Januari 2020. Saat itu, korban baru saja selesai makan di Restoran Selecta Jalan Listrik Medan.
“Begitu keluar dari lift, korban dicegat dan dibawa oleh empat orang pria berbadan tegap,” kata Fenny didampingi kuasa hukumnya, Amrizal dan Ardiansyah Hasibuan.
Dia menyebut, Sjamsul Bahri alias Ationg dibawa paksa masuk ke dalam mobil innova dan mengambil barang-barang milik korban berupa handphone (HP) dan dompet. “Pas di dalam mobil korban melihat ada yang dikenalnya yaitu Susanto Ang alias Ayong, warga Jalan Rawo Kota Tanjung Balai. Kemudian suami klien kita dibawa keliling hingga sampai Pasar 7 Marelan,” sebutnya.
Saat di mobil, lanjut Amrizal, Ationg melihat dan mendengar Ayong bertelepon dengan seorang dengan sebutan haji. “Ationg disiksa di mobil dengan cara disuruh jongkok dengan kedua lutut mengepit 2 batu bata. Apabila batu itu jatuh, korban ditendang. Perlakuan ini sangat tidak manusiawi,” ujarnya.
Anehnya, Ationg dibawa ke Mapolsek Kota Tanjungbalai Selatan. “Di sana korban mendapatkan intimidasi oleh dua orang penyidik yang menyatakan kalau korban disuruh membayar hutang Rp100 juta agar dilepas,” aku dia.
Di ruang penyidik ini, korban kembali mendapatkan penganiayaan oleh dua penyidik berpakaian preman itu. “Karena suami klien kami tidak ada uang terus dipukul. Bukan hanya itu, seorang pria H Latif ikut memukuli. Korban terus diintimidasi untuk membayar hutang kepada Ayong sebesar Rp645 juta,” sebut dia.
Mendapatkan informasi kalau suaminya sedang terancam, Feny mendatangi Mapoldasu untuk membuat pengaduan dengan no STTP/45/2020/Sumut/SPKT II/Poldasu.
OM-bandi