JEJAK RANTAU
Dia lepas dari rantai kota rantau
setelah pikirannya bergulingan
sebelum tiba pada keputusan.
Pulang ke tanah asal
Dulu, dia sukar meretas lapar dan luka
jelajahi gemerlap kota di sela bunyi
perut merindu daging, meliur kelezatan
hidangan. Pun rumah layak huni,
tersembunyi dari jangkauan
“Pulang malu, tak pulang rindu.”
Kerabat menyindir tersebab perantau
tak pulang-pulang.
Dia tak mau dibilang serdadu kalah perang
Meski hidup ditandai kalah dan menang
Dia genggam semangat baja
menghapus jejak kelam tanah rantau
Kereta bandara bergerak di rel yang sama
Menuju rumah lama. Dirabanya
hibuk suara di ruang dada.
Kubur-kubur memanggil minta
diziarahi sang pelalai,
sang penunda doa-doa
Gerimis masih jatuh di udara
masih ada cahaya menembus jendela
Jakarta, September 2019
—
BIOLA DI SUDUT KAMAR
Biola itu berdebu di sudut kamar
sangat lama tak disentuh
senarnya putus satu ketika Jil pergi
memetik ilmu di tanah jauh
Angin kering kemarau bersiul
Menyelinap liar di kisi jendela
Lakilaki itu meraba uban
bertumbuhan di kepala
seperti sketsa gambaran
garis-garis hidup mendera
Lakilaki itu terduduk di kasur
rasa rindu dan kehilangan menikam tajam
sayup-sayup terdengar orkestra Vivaldi
seperti dimainkan Jil di waktu-waktu sunyi
Jakarta, September 2019
| dari antologi DNP 10 – RANTAU
—
DI BENTENG ANOI ITAM
Berdiri di Benteng Anoi Itam
aku tak bicara soal gudang, rumah tua,
kapal, perahu dan temali Chairil
dalam Senja di Pelabuhan Kecil
Bau garam dikirim angin bertukar
bau mesiu, meruap dari mulut
meriam tua peninggalan Jepang yang
kuinjak. Luka dan darah terkuak
dari lipatan sejarah
Lorong panjang dan gelap di bawah
tubuhku yang membungkuk di pintu
masuk, seperti desing peluru ditembakkan
Ada teriakan luka, lalu senyap
Kutarik langkah dan menapaki akar pohon
Nyanyian ombak tak henti
memecah karang. Kulabuh al fatihah
untuk mereka yang gugur berkalang kubur
Sabang, 2018/2020
| dari antologi JAZIRAH LIMA
—
POHON KATA
diguyur deras hujan
tumbuh pohon-pohon kata
jadi hutan beranak-pinak batang
akar dan daun berpisau waktu
bumi berpelumas imajinasi
para penyair diperam diksi
berjajar di banjar hening
metafora menetes dari kejauhan langit
tubuh-tubuh runduk terpukau
soalan hidup berdebam di kaki-kaki
semesta tak habis menebar ayat
sejak mula tercipta minta dibaca
mengisi ruang kepala
disaring tajam ruang dada
tak peduli bumi dijarah pandemi
kitab puisi ditulis mencari cahaya
penyair-penyair meriuh tumbuh
di jejak hujan semayam kata
Jakarta 2020
dari antologi Banjarbaru Rain
—
RUANG DIALOG
Malam menurunkan jubah hitam
Bumi muram diterkam Covid19
Ketuaan usia mudah melambai jatuh
Kautegur kecemasanku dalam
percakapan berjarak
Peraduan jadi duri bagi kemesraan
Semakin kau takut, tubuhmu makin
renta – katamu. Diamku pulang ke
pemilik semesta. Aku pengidap batuk
dan flu tak kenal musim. Sinusitisku
menyapa ruh yang berontak di semayam
sementara. Media tajam beritakan
korban Corona, sisakan paranoia
Kami bersihkan tangan, kaki dan
sekujur tubuh. Ruang dialog makin
sunyi dan dingin. Di ruang mihrab
dini hari, doa dan zikir bergetar.
Kubayangkan virus gegas ke langit
jauh melepas mahkota kematian
yang ditakutkan manusia.
Jakarta, 21 Maret 2020
| dari antologi PANDEMI PUISI
—
KOTA SUNYI
Seperti ribuan drone bermahkota duri
kematian di ruang antar manusia
virus corona bermanuver ke pintu-pintu
nyawa peradaban. Kota diterkam sunyi.
Dinamika hidup redup. Bom waktu sem-
bunyi di mana-mana. Tak terpeta.
Tumpukan jenazah dingin membusuk
tak dilayat. Tak diziarahi. Tak ada tabu-
ran bunga dan siraman air mawar
Kutapaki trotoar pertokoan. Seorang
petugas menghadang jalan. Diberikannya
selembar masker hijau. “Pakai
dan pulanglah.Jangan menyusul
kematian!” katanya. Tangannya memberi
isyarat menyuruhku pergi. Virus tak kasat
mata
Kusemayamkan kecemasan di bilik rumah.
Dicekam pandemi tanpa obat dan vaksin,
Tuhan dibutuhkan bagi ketenangan dan
penyembuhan. Duhai Maha Kasih yang
tak pilih kasih. Bersihkan ancaman dari
bumi ketika duka mengepung doa-doa
di hening diri.
Jakarta, 14 April 2020
| dari antologi CORONA Pergi oleh Puisi
==
FOEZA HUTABARAT, kelahiran Medan. Puisi, cerpen dan cerbernya dimuat di Analisa, Waspada, Medan Bisnis,Suara Pembauran, Republika, Horison, Gadis, Anita, Hai, Aura, Aneka, Wanita Indonesia, Bahana Brunei dan media lainnya.
Dua antologi puisinya, Langkah-langkah Pendek (1980), Tafakur Sunyi (2019). Karyanya juga bisa dibaca di buku Menagerie 5 (2003), Kain Batik Ibu (2010), Ini Medan Bung (2010), Lidah Monster (kumcer bersama Iwan Fauzi, 2010), Indonesian Haiku Anthologies of the Universe (2016), 1000 Haiku Musim 2,3,4 dan 5 (KKK), Sendja Djiwa Pak Budi (2018), Mahligai Penyair Titipayung, Mengenang Damiri Mahmud (2019), Febri Wara Wiri, Nyanyian Rindu Adista (novel, 1986), Durian oh Durian, Musim Layang-layang (cerita anak,1995).
Di masa pandemi covid19 ini, puisi, haiku dan pentigrafnya, masuk dalam antologi bersama; Haiku Pandemi Corona, The Diary of Unite Against Covid, Pandemi Puisi, Jazirah Lima, Rantau, Banjarbaru Rain, Kata Kita, Takziah Bulan Tujuh Mengenang Sapardi Djoko Damono, Hari Hari Huru Hara, Sepersejuta Milimeter Dari Corona, Taruntum, Corona Pergi oleh Puisi, dan The Third Anthology of World Gogyoshi •