Puisi-puisi Foeza Hutabarat

OkeLeisure7 Dilihat

JEJAK RANTAU

Dia lepas dari rantai kota rantau

setelah pikirannya bergulingan

sebelum tiba pada keputusan.

Pulang ke tanah asal

 

Dulu, dia sukar meretas lapar dan luka

jelajahi gemerlap kota di sela bunyi

perut merindu daging, meliur kelezatan

hidangan. Pun rumah layak huni,

tersembunyi dari jangkauan

 

“Pulang malu, tak pulang rindu.”

Kerabat menyindir tersebab perantau

tak pulang-pulang.

 

Dia tak mau dibilang serdadu kalah perang

Meski hidup ditandai kalah dan menang

Dia genggam semangat baja

menghapus jejak kelam tanah rantau

 

Kereta bandara bergerak di rel yang sama

Menuju rumah lama. Dirabanya

hibuk suara di ruang dada.

Kubur-kubur memanggil minta

diziarahi sang pelalai,

sang penunda doa-doa

 

Gerimis masih jatuh di udara

masih ada cahaya menembus jendela

 

Jakarta, September 2019

 

BIOLA DI SUDUT KAMAR

 

Biola itu berdebu di sudut kamar

sangat lama tak disentuh

senarnya putus satu ketika Jil pergi

memetik ilmu di tanah jauh

 

Angin kering kemarau bersiul

Menyelinap liar di kisi jendela

 

Lakilaki itu meraba uban

bertumbuhan di kepala

seperti sketsa gambaran

garis-garis hidup mendera

 

Lakilaki itu terduduk di kasur

rasa rindu dan kehilangan menikam tajam

sayup-sayup terdengar orkestra Vivaldi

seperti dimainkan Jil di waktu-waktu sunyi

 

Jakarta, September 2019

| dari antologi DNP 10 – RANTAU

— 

 

DI BENTENG ANOI ITAM

 

Berdiri di Benteng Anoi Itam

aku tak bicara soal gudang, rumah tua,

kapal, perahu dan temali Chairil

dalam Senja di Pelabuhan Kecil

 

Bau garam dikirim angin bertukar

bau mesiu, meruap dari mulut

meriam tua peninggalan Jepang yang

kuinjak. Luka dan darah terkuak

dari lipatan sejarah

 

Lorong panjang dan gelap di bawah

tubuhku yang membungkuk di pintu

masuk, seperti desing peluru ditembakkan

Ada teriakan luka, lalu senyap

 

Kutarik langkah dan menapaki akar pohon

Nyanyian ombak tak henti

memecah karang. Kulabuh al fatihah

untuk mereka yang gugur berkalang kubur

 

Sabang, 2018/2020

| dari antologi JAZIRAH LIMA

 

POHON KATA

diguyur deras hujan

tumbuh pohon-pohon kata

jadi hutan beranak-pinak batang

akar dan daun berpisau waktu

 

bumi berpelumas imajinasi

para penyair diperam diksi

berjajar di banjar hening

metafora menetes dari kejauhan langit

 

tubuh-tubuh runduk terpukau

soalan hidup berdebam di kaki-kaki

 

semesta tak habis menebar ayat

sejak mula tercipta minta dibaca

mengisi ruang kepala

disaring tajam ruang dada

 

tak peduli bumi dijarah pandemi

kitab puisi ditulis mencari cahaya

penyair-penyair meriuh tumbuh

di jejak hujan semayam kata

 

Jakarta 2020

dari antologi Banjarbaru Rain

 

RUANG DIALOG

 

Malam menurunkan jubah hitam

Bumi muram diterkam Covid19

Ketuaan usia mudah melambai jatuh

Kautegur kecemasanku dalam

percakapan berjarak

Peraduan jadi duri bagi kemesraan

 

Semakin kau takut, tubuhmu makin

renta – katamu. Diamku pulang ke

pemilik semesta. Aku pengidap batuk

dan flu tak kenal musim. Sinusitisku

menyapa ruh yang berontak di semayam

sementara. Media tajam beritakan

korban Corona, sisakan paranoia

 

Kami bersihkan tangan, kaki dan

sekujur tubuh. Ruang dialog makin

sunyi dan dingin. Di ruang mihrab

dini hari, doa dan zikir bergetar.

Kubayangkan virus gegas ke langit

jauh melepas mahkota kematian

yang ditakutkan manusia.

 

Jakarta, 21 Maret 2020

| dari antologi PANDEMI PUISI

 —

 

KOTA SUNYI

Seperti ribuan drone bermahkota duri

kematian di ruang antar manusia

virus corona bermanuver ke pintu-pintu

nyawa peradaban. Kota diterkam sunyi.

Dinamika hidup redup. Bom waktu sem-

bunyi di mana-mana. Tak terpeta.

Tumpukan jenazah dingin membusuk

tak dilayat. Tak diziarahi. Tak ada tabu-

ran bunga dan siraman air mawar

 

Kutapaki trotoar pertokoan. Seorang

petugas menghadang jalan. Diberikannya

selembar masker hijau. “Pakai

dan pulanglah.Jangan menyusul

kematian!” katanya. Tangannya memberi

isyarat menyuruhku pergi. Virus tak kasat

mata

 

Kusemayamkan kecemasan di bilik rumah.

Dicekam pandemi tanpa obat dan vaksin,

Tuhan dibutuhkan bagi ketenangan dan

penyembuhan. Duhai Maha Kasih yang

tak pilih kasih. Bersihkan ancaman dari

bumi ketika duka mengepung doa-doa

di hening diri.

 

Jakarta, 14 April 2020

| dari antologi CORONA Pergi oleh Puisi

 

== 

FOEZA HUTABARAT, kelahiran Medan. Puisi, cerpen dan cerbernya dimuat di Analisa, Waspada, Medan Bisnis,Suara Pembauran, Republika, Horison, Gadis, Anita, Hai, Aura, Aneka, Wanita Indonesia, Bahana Brunei dan media lainnya.

Dua antologi puisinya, Langkah-langkah Pendek (1980), Tafakur Sunyi (2019). Karyanya juga bisa dibaca di buku Menagerie 5 (2003), Kain Batik Ibu (2010), Ini Medan Bung (2010), Lidah Monster (kumcer bersama Iwan Fauzi, 2010), Indonesian Haiku Anthologies of the Universe (2016), 1000 Haiku Musim 2,3,4 dan 5 (KKK), Sendja Djiwa Pak Budi (2018), Mahligai Penyair Titipayung, Mengenang Damiri Mahmud (2019), Febri Wara Wiri, Nyanyian Rindu Adista (novel, 1986), Durian oh Durian, Musim Layang-layang (cerita anak,1995).

Di masa pandemi covid19 ini, puisi, haiku dan pentigrafnya, masuk dalam antologi bersama; Haiku Pandemi Corona, The Diary of Unite Against Covid, Pandemi Puisi, Jazirah Lima, Rantau, Banjarbaru Rain, Kata Kita, Takziah Bulan Tujuh Mengenang Sapardi Djoko Damono, Hari Hari Huru Hara, Sepersejuta Milimeter Dari Corona, Taruntum, Corona Pergi oleh Puisi, dan The Third Anthology of World Gogyoshi •

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan